Kamis, 01 Desember 2011

Verba Majemuk

I. PENDAHULUAN
Kompositum atau bentuk majemuk adalah penggabungan dua bentuk kata atau lebih. Bentuk ini terdiri atas verba majemuk dan verba nominal. Verba majemuk adalah deret dua kata atau lebih menghasilkan makna yang masih dapat diruntut dari makna komponennya yang tergabung (Moeliono, 2001: 22).
Kata terjun dan kata payung dapat digabungkan menjadi terjung payung. Makna perpaduan ini masih dapat ditelusuri dari makna kata terjun dan kata payung, yaitu melakukan terjun dari udara dengan memakai semacam payung. Hasil perpanduan dua verba seperti ini dinamakan verba majemuk. Penanda lain verba majemuk adalah urutannya tetap dan tidak dapat dipertukarkan tempatnya. Contoh berikut dapat dilihat di bawah ini.
1) terjun payung tidak dapat menjadi payung terjun
2) siap tempur tidak dapat menjadi tempur siap
3) tatap muka tidak dapat menjadi muka tatap
Verba nominal pada dasarnya mempunyai ciri yang sama dengan verba majemuk. Suami-istri merupakan verba nominal karena maknanya masih dapat diuraikan dari makna kata suami dan istri. Hal ini sangat jelas berbeda dengan idiom. Idiom juga terbentuk melalui proses penggabungan beberapa kata. Perbedaan antara verba majemuk dan nomina majemuk dengan idiom terdapat pada penulusuran makna kata yang membentuknya. Jika makna verbal majemuk dan nominal majemuk masing dapat diuraikan, makna idiom tidak dapat diuraikan secara langsung dari masing-masing makna yang tergabung. Kata naik dapat digabungkan dengan darah sehingga terbentuk naik darah. Perpaduan dua kata ini menimbulkan makna baru dan tidak ada hubungannya dengan darah yang naik.
Berdasarkan panjang-pendeknya, verba majemuk dan verba nominal berbeda dengan idiom. Perpaduan bentuk majemuk pada umumnya terdiri atas dua kata. Tatap muka, bunuh diri, dan maju mundur merupakan contoh verba majemuk dan uang pangkal, anak cucu, dan cetak coba merupakan contoh verba nominal. Akan tetapi, perpaduan pada bentuk idiom dapat terdiri dari dua kata atau lebih. Kata bertepuk sebelah tangan, bermain api, dan memancing di air keruh adalah bentuk-bentuk idiom.
II. PEMBAHASAN
A. VERBA MAJEMUK
Verba majemuk adalah verba yang terbentuk melalui proses penggabungan satu kata dengan kata yang lain. Dalam verba majemuk, penjejeran dua kata atau lebih itu menumbuhkan makna yang secara langsung masih bisa ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung.
Idiom juga merupakan perpaduan dua kata atau lebih, tetapi makna dari makna-makna masing-masing kata yang tergabung. Kata naik misalnya, dapat dipadukan dengan kata darah sehingga menjadi naik darah.
Kalau dipakai formula untuk membedakan idiom dengan verba majemuk, maka perbedaan itu adalah:
Idiom : A + B menimbulkan makna C
Verba majemuk : A + B menimbulkan makna AB
Salah satu ciri lain dari verba majemuk adalah ahwa urutan komponennya seolah-olah telah menjadi satu sehingga tidak dapat dipertukarkan tempatnya. Karena keeratan hubungannya verba majemuk juga tidak dapat dipisahkan oleh kata lain. Bentuk *temu wicara, *siap guna tempur, dan *tatap dengan muka.
Verba majemuk juga dibedakan dari idiom panjang-pendeknya bentuk. Biasanya verba majemuk pendek dan umumnya terbatas pada dua kata.
Verba majemuk harus pula dibedakan dari frasa verba. Frasa verba juga terdiri dari dua kata atau lebih. Berdasarkan bentuk morfologisnya, verba majemuk terbagiatas (1) verba majemuk dasar, (2) verba majemuk berafiks, dan (3) verba majemuk berulang. Berdasarkan komponen-komponennya, verba majemuk terbagi atas (i) verba majemuk bertingkat, dan (ii) verba majemuk setara. Verba majemuk bertingkat adalah verba majemuk yang salah satu komponennya merupakan inti. Hubungan itu dapat dilihat jelas apabila apabila verba majemuk itu diparafrasekan. Contohnya:
jumpa pers = jumpa dengan pers
haus kekuasaan = haus akan kekuasaan
verba majemuk setara ialah verba majemuk yang kedua komponennya merupakan inti. Hubungan itu dapat dilihat pada parafrase sebagai berikut:
timbul tenggelam = timbul dan tenggelam
jatuh bangun = jatuh dan bangun
Jelaslah bahwa bukan satu komponen yang menjadi inti, tetapi kedua-duany. Dari parafrase tersebut terlihat bahwa hubungan kedua komponen bersifat koordinatif.
1. Verba Majeuk Dasar
Yang dimaksud dengan verba majemuk dasar ialah verba majemukyang tidak verafiks dan tidak mengandung komponen berulang, serta dapat berdiri sendiri dalam frase, klausa, atau kalimat. Ada tiga pola verba majemuk dasar yang paling umum yaitu (a) komponen pertama berupa verba dasar dan komponen kedua berupa nomina dasar, seperti mabuk laut; (b) komponen pertama berupa adjectiva dan komponen kedua berupa verba, sepert kurang makan; (c) kedua komponen berupa verba dasar seperti hancur lebur.
2. Verba Majemuk Berafiks
Verba majemuk berafiks ialah verba majemuk yang mengandung afiks tertentu. Verba majemuk berafiks dapat dibagi menjadi tiga kelomok.
a. Verba majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk majemuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam kalimat disebut verba majemuk terikat.
b. Verba majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk majemuk yang dapat berdiri sendiri disebut verba majemuk bebas.
c. Verba majemuk berafiks yang komponennya telah berafiks lebih dahulu.
3. Verba majemuk berulang
Verba majemuk dalam bahasa Indonesia dapat direduplikasi jika kemajemukannya bertingkat dan jika intinya adalah bentuk verba yang dapat direduplikasikan pula. Hanya komponen verba yang mengalami reduplikasikan pula.

Contoh:
Naik pangkat naik-naik pangkat
Pulang kampung pulang-pulang kampung
Dari contoh diatas tampaklah bahwa hanya komponen verba yang mengalami reduplikasi.

B. HUBUNGAN KETRANSITIFAN DENGAN AFIKSASI
Ada keterkaitan antara ketransitifan dengan afiksasi. Berikut ini didaftarkan kaidah mengenai hubungan tersebut.
1. Verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiksasi dapat bersifat transitif dan dapat pula taktransitif. Contoh: makan, minum, mandi, tidur.
2. Verba yang bersifat ber- bersifat tak transitif. Contoh: berjalan, berjemur, berdasarkan, bermandikan.
3. Verba yang berafiks meng- tanpa sufiks dapat bersifat tarnsitif dan dapat pula taktransitif. Contoh: membeli, membawa, mendarat, merakyat.
4. Semua verba yang bersufiks –i, kecuali verba tertentu sepertimenyerupai dan memadai, bersifat transitif. Contoh: merestui, memukuli, menugasi, mendekati.
5. Semua verba yang bersufiks –kan dan berprefiks meng-, kecuali merupakan, selalu bersifat transitif. Contoh: mengerjakan, membelikan, menyerahkan.
6. Jika bentuk [meng-+ Dasar] membentuk verba taktransitif, makan pasangannya dengan sufiks –kan dan –i merupakan verba ekatransitif.
7. Jika bentuk [meng-+ Dasar] membentuk verba ekatransitif, makan pasangannya dengan sufiks –kan sering tergolong verba dwitransitif.
8. Jikan bentuk [meng-+ Dasar] adalah verba ekatransitif, maka pasangannya dengan akhiran –in umumnya tetap ekatransitif.

C. FRASA VERBAL DAN FUNGSINYA
Verba dapat diperluas dengan menambahkan unsur-unsur tertentu, tetapi hasil perluasan ini masih tetap ada pada tataran sintaksis yang sama.
1. Pengertian Farasa Verbal
Farasa verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai intinya tetapi bentuk ini tidak merupakan klausa. Perlu ditegaskan bahwa unsur pengisi subjek, objek, dan pelengkap tidak termasuk dalam frasa verbal.
a. Kesehatannya sudah membaik.
b. Pesawat itu akan mendarat.
c. Anak-anak itu tidak harus pergi sekarang.
Kontruksi yang dicetak miring adalah frasa verbal.
2. Jenis-jenis farasa verbal
Dilihat dari konstruksinya, frasa verbal terdiri atas verba inti dan kata lain yang bertindak sebagai penambah arti verba tersebut.
a. Frasa Endosentrik Atribut
Frasa verbal yang endosentrik atribut terdiri atas inti verba dan pewatas yang ditempatkan dimuka atau belakang verba inti. Yang di muka dinamakan pewatas depan dan yang dibelakang dinamakan pewatas belakang.
b. Frasa Endosentrik Koordinatif
Wujud frasa endosentrik koordinatif sangatlah sederhana, yakni dua verba yang digabungkan dengan memakai kata penghubung dan atau atau. Tentu saja, sebagai verba bentuk itu juga dapat didahului atau diikuti oleh pewatas depan dan pewatas belakang.

D. FUNGSI VERBA DAN FRASA VERBAL
Jika ditinjau dari segi fungsinya, verba (maupun frasa verbal) terutama menduduki fungsi predikat. Walaupun demikian verba dapat pula menduduki fungsi lain seperti subjek, objek, dan keterangan.
1. Verba dan Frasa Verbal sebagai Predikat
Contoh:
a. kaca jendela itu pecah.
b. Orang tuanya bertani.
c. Kedua sahabat itu berpeluk-pelukan
2. Verba dan Frasa Verbal sebagai Subjek
Contoh:
a. Membaca telah memperluasa wawasan fikirannya.
b. Bersenam setiap pagi membuat orang itu terus sehat.
3. Verba dan Frasa Verbal sebagai Objek
Contoh:
a. Dia sedang mengajarkan menari pada adik saya.
b. Mereka menekuni membaca Quran pada pagi hari.
4. Verba dan Frasa Verbal sebagai Pelengkap
Contoh:
a. Dia sudah berhenti merokok.
b. Mertuanya merasa tidak bersalah.
5. Verba dan Frasa Verbal sebagai Keterangan
Contoh:
a. Ibu sudah pergi berbelanja.
b. Paman datang berkunjung minggu yang lalu.
6. Verba yang Bersifat Atributif
Verba (bukan frasa) juga bersifat atributif, yaitu memberikan keterangan tambahan pada nomina. Dengan demikian sifat itu ada pada tataran frasa.
a. Anjing tidur tak boleh diganggu.
b. Emosi tak terkendali sangat merugikan.
7. Verba yang Bersifat Apositif
Verba dan perluasannya dapat juga bersifat apositif, yaitu sebagai keterangan yang ditambhakan atau diselipkan.
a. Pekerjaannya, mengajar, sudah ditanggalkan.
b. Sumber pencarian penduduk desa itu, bertani dan berternak, sudah lumayan.

E. DAFTAR CONTOH DASAR VERBA DAN VERBA
1. Dasar terikat
acu dadak
ajar duyun
benam gores
2. Verba asal
ada lalu
bangkit masuk
gugur lulus
3. Verba turunan
berdasarkan mempertanyakan
dibebani terpenuhi
dibebaskan terlupakan

III. PENUTUP
Verba majemuk adalah verba yang terbentuk melalui proses penggabungan satu kata dengan kata yang lain. Dalam verba majemuk, penjejeran dua kata atau lebih itu menumbuhkan makna yang secara langsung masih bisa ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung.

Daftar Pusataka
Alwi, Hasan. 2003. Edisi Ketiga, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.

Rabu, 30 November 2011

Arti dan Sejarah Kritik Sastra

A. PENDAHULUAN
Lahirnya kritik sastra telah melengkapi bidang studi sastra atau wilayah ilmu sastra menjadi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Sering orang mencampuradukkan ketiga bidang studi ini padahal ketiganya mempunyai wilayah yang berbeda walaupun saling berhubungan, saling menunjang, dan saling mengisi.
Teori sastra menelaah bidang yang membicarakan pengertian sastra, hakikat sastra, penelitian sastra, jenis dan gaya penulisan, dan teori penikmatan sastra. Sedangkan sejarah sastra menyangkut studi yang berhubungan dengan penyusunan sejarah sastra yang menyangkut masalah periodisasi dan perkembangan sastra. Kritik sastra merupakan bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya, yang membahas bernilai tidaknya sebuah karya sastra.
Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan kritik sastra dan apa peranannya terhadap hasil karya sastra, pelajarilah uraian berikut dengan sungguh-sungguh.

B. ARTI DAN SEJARAH KRITIK SASTRA
Istilah kritik sastra yang pada zaman modern ini sangat populer, sebenarnya telah memiliki sejarah yang amat panjang. Pengertian kritik sastra berkembang dari masa ke masa, namun tetap tidak mengubah artinya.
Istilah kritik berasal dari kata krites yang oleh orang-orang Yunani Kuno dipergunakan untuk menyebut hakim, sebab kata benda ini berpangkal pada krinein yang berarti menghakimi. Kemudian muncullah kata kritikos yang diartikan sebagai hakim kesusastraan. Pengertian ini berlaku pada abad ke-4.
Di dalam pustaka sastra Latin klasik, istilah criticus jarang sekali dipakai. Dalam pemakaian yang sangat jarang itu, criticus dipandang lebih tinggi daripada grammaticus. Tokoh-tokoh yang paling berjasa dalam pembinaan istilah kritikos atau criticus sebagaimana lazimnya sekarang dipergunakan orang dalam bahasa Inggris literary criticism adalah tokoh-tokoh pemuka kaum retorika seperti Quntilianus dan filosof Aristoteles.
Dalam abad pertengahan, istilah kritik tenggelam. Pemakaiaannya cuma terbatas pada lingkungan kedokteran dalam arti krisis dan dalam penggunaan penyakit kritis (critical illness). Tetapi dalam zaman Renaissance istilah kritik muncul kembali dalam arti semulanya. Polizianus pada tahun 1492 mempergunakan istilah criticus sebagai antitese daripada filosof, begitu juga istilah grammaticus.
Dengan demikian timbullah pengacauan penggunaan istilah kritikus dengan grammatikus dan filologis terutama di kalangan orang-orang yang menggarap harta karun pustaka sastra lama. Di kalangan kaum humanis selanjutnya kata kritik dan kritikus pemakaiaannya terbatas pada penerbitan dan pembetulan naskah-naskah kuno. Tujuan kaum kritikus adalah mencabuti cacat cela guna perbaikan naskah-naskah karya para pujangga kuno, baik Yunani ataupun Latin. Jadi jelaslah di sini bahwa kritikus ditempatkan di bawah gramatikus.
Buku tentang kritik yang pertama dan lengkap, yang kemudian dipandang sebagai sumber dari pengertian kritik modern berjudul Criticus ditulis oleh Julius Caesar Sealinger (1484-1558). Buku ini merupakan jilid ke-6 dari rangkaian bukunya yang berjudul Poetica. Dalam jilid ke enam ini, ia mengadakan penyelidikan dan perbandingan, yang sudah barang tentu terlalu memakan tenaga dan minat, antara para pengarang Yunani dan Romawi Latin dengan titik berat pada usaha pertimbangan dan bahkan pemeriksaan terhadap Homerus dan Vergilius dalam kelas yang sama. Kemudian karena usahanya ini, Sealiger mendapat julukan le grand critique, kritikus besar di kalangan sastrawan Perancis.
Kemudian istilah kritik ini diterima di kalangan luas dalam artian yang luas pula pada abad ke-16 dan ke-17. Pengarang terkenal Moliere misalnya, menulis sebuah buku berjudul Critique de L’ecole des Femmes (1663). Kritik sastra jelas selalu dihubungkan dengan sastra kuno dan diidentifikasikan dengan seluruh masalah tentang teori pengetahuan dan penangkapan.
Di Inggris, kata kritik dengan sendirinya mempunyai perkembangan dan sejarah sendiri. Pada zaman Elizabetan, kata critic tidak pernah kedengaran ataupun ditulis orang. Buku pertama yang membicarakan tentang masalah ini adalah Advancement of Learning karangan Francis Beacon (1605). Buku ini memperbincangkan tradisi-tradisi ilmu pengetahuan dalam kategori-kategori sebagai berikut:
1. Critical, yang memberikan ciri-ciri:
a. Berpautan dengan perbaikan dan penerbitan yang benar dari karya para pujangga;
b. Berpautan dengan eksposisi (pembeberan) dan eksplikasi (pengudaraan);
c. Berpautan dengan zaman yang banyak kali memberikan petunjuk yang jelas buat mengadakan penafsiran yang tepat;
d. Berpautan dengan sekilas pemeriksaan atau sensor penghakiman terhadap karya-karya para pujangga; dan
e. Berpautan dengan sintaksis yang berarti tata kalimat serta disposisi atau hikmah keilmuannya.
2. Pedantical
Dalam garis besarnya, perkembangan istilah di Inggris sejajar dengan di Perancis. Tetapi harus diingat bahwa pemakaiaan istilah itu tidak semudah di Perancis. Kata benda critism yang belakangan ini sangat biasa dipakai sebenarnya merupakan usaha untuk menghindari adanya homonimi yang terdapat pada kata critic, sebab pada mulanya kata ini di samping mempunyai arti tindakannya juga orang yang melakukan tindakan itu. Usaha lain untuk menghindari homonim itu terdapat juga dalam pemakaian critique yang merupakan pinjaman dari Perancis.
Pengarang pertama di dalam sastra Inggris yang mempergunakan istilah criticism dalam arti yang dipegang teguh sampai sekarang adalah John Dryden yang menuliskan: criticism yang telah diletakkan oleh Aristoteles dimaksudkan sebagai penghakiman yang benar. Masih ada seorang tokoh lain lagi yang telah menulis sajak panjang berjudul Essay on Criticism, yakni Alexander Pope.
Dengan demikian jelaslah bahwa istilah criticism meluas benar pemakaiaannya., mendesak kata critick. Ini berarti juga telah lenyapnya suatu homonim.
Kalau di dalam sastra Jerman ditemukan juga istilah kritik dan kritisch itu merupakan pengaruh yang merembes dari Perancis. Untuk artian yang dikandung oleh kritik di dalam sastra Inggris atau Perancis, sastra Jerman memiliki istilah Literaturwissenshaft. Istilah ini pernah juga diusahakan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris ataupun Perancis menjadi the science of literature, tetapi tidak begitu mendapat sambutan sebab di dalam kedua bahasa itu istilah science memang mempunyai arti yang lebih khusus dan sempit yakni tertuju pada pengetahuan eksakta.
Demikianlah sekedar penjelajahan yang telah dilakukan sepintas kilas saja untuk mernyingkap asal istilah kritik sastra dan pemakaiannya di dalam sejarah pustaka sastra sejauh ini.
Bahasa Indonesia tidak melihat adanya persoalan berkenaan istilah kritik. Istilah ini diterima di kalangan luas dengan cukup memberikan implikasi ke arah pemgertian yang sebenarnya, meskipun harus diakui bahwa sementara orang ada juga yang melakukan usaha untuk memperkenalkan istilah lain seperti ulasan, teropong, sorotan, dan wawasan. Tokoh-tokoh di Indonesia yang telah memperjuangkan pengenalan istilah kritik ini antara lain Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Iwan Simatupang, Subagio Sastrowardoyo, dan belakangan ini disusul oleh Boen S. Oemarjati dan Goenawan Mohamad.
Di Indonesia memang pernah istilah kritik ini dihindari karena dianggap perkataan itu membawa makna yang cukup tajam dan perbuatan mengeritik itu dianggap destruktif, sehingga sering dimunculkan sinonimnya seperti penyelidikan ataupun pemgkajian, telaah, bahasan, atau ulasan. Sungguhpun demikian, bukan tidak terjadi sebelumnya penilaian atau penghukuman terhadap sastrawan dan karyanya di dalam sejarah kehidupan kesastraan di nusantara ini.
Di Indonesia memang pernah istilah kritik ini dihindari karena dianggap perkataan itu membawa makna yang cukup tajam dan perbuatan mengeritik itu dianggap destruktif, sehingga sering dimunculkan sinonimnya seperti penyelidikan ataupun pengkajian, telaah, bahasan, atau ulasan.
Mengenai kritik sastra itu sendiri, beberapa batasan kita jumpai. H.B. Jassin mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra.
Menurut Gayley dan Scott (1970), kritik sastra adalah:
1. Mencari kesalahan (fault finding)
2. Memuji (to praise)
3. Menilai (to judge)
4. Membanding (to compare)
5. Menikmati (to appreciate)
Menurut Duroche (1967) denagn mengutip pendapat Stanley Edgar Huyman, menarik kesimpulan tentang kritik sastra:
1. Kritik sastra adalah penilaian (evaluation).
2. Kritik sastra adalah interpretasi, sebab belum adanya ukuran yang baku dan ukuran itu sendiri tidak dapat disusun.
3. Kritik sastra itu adalah penialain dan interpretasi.
Dari beberapa penyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk member pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistematik.
Suatu kritik sastra dapat dilakukan dengan oendekatan atau dengan metode yang berlainan. Oelh sebab itu kritik sastra dapat dibagi atas dua jenis, yaitu:
1. Kritik sastra penilaian (judicial criticism), yaitu kritik sastra yang sifatnya member penilaian terhadap pengarang dan karyanya.
2. Kritik sastra induktif (inductive criticism), yaitu kritik sastra yang tidak mau mengakui adanya aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ditetapkan sebelumnya.


Kritik sastra juga dibagi berdasarkan tipe sejarah sastra dan kritik sastra, yaitu sebagai berikut:
1. Impresionistik
2. Kesejarahan
3. Textual
4. Formal
5. Yudisial
6. Analitik
7. Moral
8. Mitik
Bila dilihat dari hakikat suatu karya sastra yang merupakan suatu keutuhan, suatu kebutuhan yang berdiri sendiri, maka kritik sastra dapat pula dibagi atas tiga aspek. Ketiga aspek kritik itu disejajarkan dengan ketiga aspek sastra sebagai suatu bentuk karya seni. Aspek-aspek itu adalah pertama, sastra itu merupakan suatu fenomena atau gejala sejarah, yakni sebagai hasil karya dan seorang seniman yang datang dari suatu lingkungan tertentu dengan kebudayaan tertentu yang tidak lepas dari rangkaian sejarah. Kedua, suatu karya sastra pastilah merupakan pengejawantahan karya yang menandai karya-karya sastra lain, termasuk didalamnya aliran, permasalahan, dan kebudayaan yang sama atau hampir sama dengan karya sastra tersebut. Ketiga, karya sastra sebagaimana juga dengan karya sastra yang lain, berbeda-beda tingkat pencapaiannya sebagai karya seni, begitu juga dengan kebenaran yang diungkapkan dan kepentingannya pada kehidupan masyarakat. Tegasnya, suatu karya sastra mempunyai tingkatan sendiri dalam hal kesempurnaan dan mempunyai pandangan sendiri tentang nilai-nilai.
Bertolak dari pendirian itu, maka seorang kritikus yang jelilah yang dapat mengamati aspek-aspek perbedaab dan kesamaan suatu karya sastra dengan karya sastra yang lain. Ketepatan pengamatan seorang kritikus tentulah didasarkan pada keluasaan pengalaman, pengetahuan, pendidikan, dan minatnya yang besar. Dengan itu pula seorang kritikus dapat menghasilkan suatu pandangan serta getaran hati yang lebih halus dibandingkan dengan pembaca biasa. Oleh sebab itu kritik sastra pun menghendaki ketiga aspek seperti yang sudah dikemukakan di atas.
Dalam fungsi menafsirkan dan menilai, kritikus dapat menghadapkan dirinya kepada publik pembaca awam dan dapat pula menghadapkan dirinya kepada pencipta.
Ada kecenderungan khusus pada krtik kesusastraan yaitu bahwa pada umumnya bersifat kontemporer. Dan kecenderungan inilah yang memberikan kesempatan pada kritik itu, yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada pembinaan,peningkatan kejiwaan bangsa, dan kepada pengangkatan kejiwaan umat manusia. Kritik berdedikasi kepada modernisasi. Dengan kritik dapat diharapkan agar dihindarkan alienasi yang sering terjadi antara sastrawan, pencipta, dan masyarakat. Kritik hendaknya menjembatani jurang itu, sehingga kesusastraan menjadi bagian yang integral dengan kehidupan budaya manusia. Jadi kesusastraan mempunyai fungsi dalam masyarakat. Bagaimana fungsi ini, bergantung pada pelaksanaan fungsi itu.
Hubungan komunikasi antara karya sastra dengan kritikus disebut komunikasi kritika. Komunikasi ini bisa positif dan bisa negatif, penilaian ini harus ada alasannya yang harus ditarik dalam karya sastra itu. Subjektivitas penilaian dapat diimbangi dan diperkecil dengan menarik semua alasan dari eksistensi karya sastra itu sendiri. Kritik pada umumnya bersifat eksplisit yang bertugas membongkar semuanya untuk menjelaskan semuanya. Dalam kritik sastra yang baik senantiasa tersimpan pendirian kritikus tentang hakikat dan fungsi kesusastraan itu sendiri. Disini nyata pertalian antara kritik dan estetika.
Dalam melaksanankan kritik sastra ini membutuhkan bantuan ilmu-ilmu kerabat tertentu, antara lain:
1. Untuk hal-hal yang mengenai lapisan idealisasi.
2. Untuk hal-hal yang mengenai lapisan aktualisasi.
Akan tetapi kritik sastra itu sendiri tidak boleh tergelincir menjadi ilmu kerabat itu sendiri.


C. PENUTUP
Pengertian kritik sastra berkembang dari masa ke masa, namun tetap tidak mengubah artinya. Istilah kritik berasal dari kata krites yang oleh orang-orang Yunani Kuno dipergunakan untuk menyebut hakim, sebab kata benda ini berpangkal pada krinein yang berarti menghakimi.
Dalam fungsi menafsirkan dan menilai, kritikus dapat menghadapkan dirinya kepada publik pembaca awam dan dapat pula menghadapkan dirinya kepada pencipta. Ada kecenderungan khusus pada krtik kesusastraan yaitu bahwa pada umumnya bersifat kontemporer.

Daftar Pustaka
Wahid, Sugira. 2009. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makassar

Jumat, 04 November 2011

Keterampilan Membaca

PENDAHULUAN
Membaca merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melihat cakrawala dunia secara obyektif, mandiri, dan kreatif. Dengan membaca, kita akan banyak memperoleh ilmu pengetahuan, dan pengalaman serta cakrawala berpikir. Bahkan dengan membaca, kita akan menjadi seorang yang kreatif, kritis, dan bijak, atau sekurang-kurangnya kita bias hijrah dari orang yang tidak tahu menjadi orang yang mengetahui. Namun, tidak banyak orang yang memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya, misalnya waktu luang untuk membaca alam-sosial, buku-buku, dan sebagainya.
Selain itu, bahwa untuk kita bisa mengaktualisasikan kekayaan intelektualitas kita yang diperoleh dari membaca ke dalam realitas pada berbagai tingkat masyarakat dan peradaban, sehingga akan menghasilkan infrastrukutur yang integral bagi penyebaran ilmu pengetahuan tersebut, maka menulis menjadi kebutuhan bagi masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society). Bahkan, menulis merupakan sebuah ketrampilan yang dapat digunakan dengan cara yang sangat menguntungkan, baik secara spiritual maupun untuk tujuan komersil.
Membaca dan menulis merupakan salah satu kebutuhan pokok dari suatu masyarakat ilmu pengetahuan atau masyarakat modern. Artinya suatu masyarakat modern tidak akan berkembang tanpa ilmu pengetahuan dan tanpa memiliki ilmu pengetahuan. Tak mungkin suatu masyarakat ilmu pengetahuan tanpa ada bahan bacaan. Dan, tidak mungkin bahan bacaan akan ada tanpa sebuah tulisan. Tanpa membaca dan menulis, masyarakat ilmu pengetahuan akan hidup dalam kehampaan. Bahkan, kehampaan terhadap ilmu pengetahuan merupakan suatu hambatan yang sangat besar di dalam pengembangan diri seseorang di dalam suatu masyarakat ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, dapat kita mengerti mengapa membaca dan menulis telah merupakan kebutuhkan pokok manusia dalam suatu masyarakat ilmu pengetahuan.



PEMBAHASAN

A. Maksud dan Tujuan Membaca
Tujuan membaca memiliki hubungan erat dengan kemampuan membaca. Sebelum membaca, kita perlu merumuskan tujuan membaca terlebih dahulu dengan jelas. Ada beberapa maksud dan tujuan membaca yaitu :
1. Memahami secara detail dan menyeluruh isi buku
2. Menangkap ide pokok/gagasan utama buku secara cepat (waktu terbatas)
3. Mendapat informasi tentang sesuatu
4. Mengenali makna kata-kata/istilah sulit
5. Ingin mengetahui peristiwa penting yang terjadi di seluruh dunia
6. Ingin mengetahui peristiwa penting yang terjadi di masyarakat sekitar
7. Ingin memperoleh kenikmatan dari karya fiksi
8. Ingin memperoleh informasi tentang lowongan pekerjaan
9. Ingin mencari merk barang yang cocok untuk dibeli
10. Ingin menilai kebenaran gagasan pengarang/penulis
11. Ingin mendapatkan alat tertentu
12. Ingin mendapatkan keterangan tentangpendapat seseorang (ahli) atau keterangan tentang defenisi suatu istilah

B. Kebiasaan yang Tidak Efisien
Membaca mempunyai harapan yang sangat penting dalam kehidupan manusia,terlebih lagi bagi para pelajar.Sebab membaca merupakan gerbang segala kemajuan.Artinya melalui membaca orang dapat memperluas cakrawala pengetahuan yang berguna bagi kemajuan diri,kemajuan sosial,kemajuan bangsa dan negara.
Orang sering membaca namun kadang-kadang belum tau membaca yang efektif,sehingga orang akan membaca kalimat halaman terakhir.Maka jika orang akan membaca buku yang tebal,perasaan hatinya terasa berat dan terbayang betapa lelah dan lamanya waktu yang digunakan untuk membaca terutama jika buku itu sulit untuk dipahami.
Selain itu,pembaca yang belum dapat membaca dengan efektif akan membaca terlalu lambat,jauh lebih lambat dari kemampuannya .Ini dikarenakan oleh kebiasaan lama,yang salah yang telah mendarah daging yang dibawa sejak kecil. Pembaca yang demikian biasanya kurang agresif dalam usaha memahami isi bacaan dan kurang konsentrasi terhadap isi bacaan.
Orang yang memiliki kebiasaan membaca yang tidak efektif dapat diketahui melalui gejala yang tampak,yaitu ditandai dengan hal-hal berikut ini:

1. Membaca dengan suara terdengar
2. Membaca dengan suara seperti berbisik
3. Membaca kata demi kata
4. Membaca dengan bibir bergerak
5. Membaca dengan kepala bergerak mengikuti bacaan
6. Membaca dengan menunjuk baris bacaan dengan menggunakan jari,pensil,atau alat Bantu lainnya.
7. Sulit berkonsentrasi sewaktu membaca
8.Cepat lupa isi bagian-bagian bacaan yang telah dibaca
9.Tidak dapat dengan cepat menemukan informasi tertentu yang diperlukan dalam bacaan.
10.Tidak dapat dengan cepat menemukan pikiran pokok dalam bacaan.
11.Jarang sekali atau sedikit sekali waktu untuk membaca.
12.Sering fiksasi (mata terfokus pada kata-kata tertentu).
13.Sering terjadi regrasi (membaca ulang pada kata atau kalimat yang baru di baca tanpa tujuan).
14.Melakukan subvokalisasi (melafalkan dalam batin seperti membaca nyaring).

Setelah kita mengetahui gejala atau tanda kebiasaan membaca yang tidak efektif maka, langkah kita untuk mengantisipasi supaya kegiatan membaca yang kita lakukan tidak sia-sia dalam arti lain bias lebih efektif, kita perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Menanamkan keinginan atau niat dalam hati yang kuat bahwa membaca merupakan suatu kebutuhan.
2. Adanya kemampuan untuk melaksanakan kegiatan membaca secara teratur.
3. Tertanamnya motivasi membaca yang kuat.
4. Memiliki ketrampilan komunikasi mata dengan baik.
5. Rajin menandai buku dengan kode tertentu.
6. Terampil mencari informasi fokus.
7. Menerapkan ketrampilan menggunakan metode membaca yang tepat.
8. Menerapkan teknik membaca yang tepat.

Dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa kegiatan membaca yang amat penting bagi kehidupan manusia. Dan kebiasaan membaca yang tidak efektif perlu kita tinggalkan dengan selalu membiasakan dan membudayakan kebiasaan membaca yang efektif, supaya tujuan yang kita harapkan dari kegiatan membaca bisa membawa faedah dan bermanfaat bagi kita semua.

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tentang tujuan membaca :
- Ada hubungan yang erat antara tujuan membaca dengan kemampuan membaca ;
- Tujuan membaca tertentu menuntut teknik membaca tertentu pula.
2. Sebelum membaca, orang perlu merumuskan tujuan membacanya terlebih dahulu dengan jelas.
3. Ada bermacam-macam variasi tujuan membaca :
- Membaca untuk tujuan studi (telaah ilmiah);
- Membaca untuk tujuan menangkap garis besar bacaan;
- Membaca untuk mengisi waktu luang;
- Membaca untuk mencari keterangan tentang suatu istilah.

B. Saran
Di dalam membicarakan mengenai usaha menggalakan gemar membaca dan menulis tentunya diasumsikan bahwa buku harus ada dan buku harus di baca, menulis butuh keterampilan dan ketrampilan menulis harus ditumbuhkan.
Apabila kita sekarang berbicara mengenai arti penting membaca dan menulis, maka ini artinya kita membutuhkan suatu perubahan budaya dari dongeng ke bacaan, dan dari lisan ke tulisan. Kita ketahui, bahwa perubahan budaya merupakan suatu hal yang sangat sulit. Namun demikian, bukan berarti kesulitan itu tidak bisa kita upayakan perubahannya.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2010. Semantik Bahasa Indonesia. Bandung: Rineka Cipta